Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai beberapa kali mengeluarkan kebijakan yang tidak menguatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Kalau kita melihat rekam jejak Pak Jokowi sebagai presiden itu jarang sekali mengeluarkan kebijakan yang memperkuat KPK," ungkap Kurnia. Kurnia menyebut, beberapa waktu terakhir terlihat dalam indeks persepsi korupsi Indonesia yang merosot tajam.
"Poinnya dari 40 menjadi 37, peringkatnya dai 85 menjadi 102, itulah gambaran nyata politik hukum pemberantasan korupsi yang sering kali keliru dimaknai pemerintah dan DPR," ungkap Kurnia. Sejumlah kebijakan tersebut, antara lain mulai dari revisi UU KPK yang ditolak oleh mayoritas publik dan adanya proses pemilihan pimpinan KPK yang menghasilkan Firli Bahuri sebagai pimpinan KPK. Kurnia menilai, Firli Bahuri tidak menunjukkan integritasnya sebagai pimpinan KPK, bahkan malah bertolak belakang.
"Misalnya Ketua KPK dua kali terbukti melanggar kode etik," ungkap Kurnia. Diketahui Firli Bahuri dinilai melanggar kode etik setelah menunjukkan gaya hidup mewah, saat menggunakan helikopter dalam perjalanan pribadinya dari Palembang ke Baturaja pada Juni 2020. Selain itu, kode etik yang pernah dilanggar Firli Bahuri ialah bertemu dengan orang yang kasus korupsinya sedang diselidiki KPK.
Meski demikian, Kurnia menilai Jokowi sudah menegaskan dalam polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak dijadikan patokan untuk mengeluarkan pegawai KPK. "Presiden sudah menegaskan dalam pidatonya, bahwa TWK tidak bisa dijadikan serta merta dasar memberhentikan pegawai KPK, namun itu tidak diindahkan oleh pemangku kebijakan (BKN dan KPK)," ungkapnya. Sementara itu Kurnia Ramadhana juga menilai, TWK di KPK jelas mengarah pada pelemahan KPK.
"Jelas sekali (melemahkan KPK). TWK ini merupakan skenario akhir dari sejumlah pihak, terutama pimpinan KPK untuk makin mendegradasi KPK," ungkap Kurnia. Menurut Kurnia, TWK di KPK adalah tindakan ilegal. "Karena tidak ada cantolan hukumnya, itu masuk hanya dalam tataran peraturan internal KPK."
"Kalau kita melihat regulasi di atasnya, baik itu UU KPK baru atau PP Nomor 41 tahun 2020 sebenarnya tidak dikenal adanya tes," ungkap Kurnia. Adapun yang disebutkan dalam UU, lanjut Kurnia, adalah pengalihan status pegawaian. "Dan itu dikonfirmasi langsung oleh anggota Komisi III (DPR RI) Pak Arsul Sani," ungkapnya.
Adapun mengenai tes TWK sebagai terusan dari alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS), Kurnia menyebut tes itu tidak sama dengan tes CPNS biasa. "Tes yang dibuat BKN (Badan Kepegawaian Negara) dengan KPK tidak sama dengan tes CPNS biasa," ungkapnya. Lebih lanjut, Kurnia mengungkapkan tes TWK di KPK tak seharusnya dilakukan.
Apalagi, diperuntukkan kepada pegawai yang sudah puluhan tahun berkarier di KPK dan terlihat sepak terjangnya. "Yang harus kita ketahui, 75 orang yang dikatakan non aktif, atau sekarang 51, adalah pegawai yang sudah lama berkarier di KPK, sudah puluhan tahun." "Dan semestinya tidak ada mekanisme tes seperti ini, karena mereka dulu ketika ingin masuk ke KPK bahkan sampai hari ini melalui program Indonesia Memanggil itu melewati serangkaian tes."
"Dan ketika mereka sudah terpilih, mereka melewati program induksi, yang di dalamnya lengkap sekali materinya," ungkap Kurnia. Kurnia menyebut, tes TWK di KPK tidak sesuai baik secara legalitas hukum maupun secara substansi. "Bagaimana mungkin pertanyaan absurd yang lebih masuk pada masalah privasi, (misalnya) soal kebersediaan lepas hijab, tentu itu sangat jauh dari nilai wawasan kebangsaan."
"Maka tidak hanya dari persoalan legalitas hukum bermasalah, substansinya juga banyak," ungkap Kurnia.